ornament
ornament
Kembali ke Halaman Artikel

Meski kesannya jauh, tetapi hal ini nyata. Yang mungkin tidak pernah kamu sadari adalah bahwa gaya hidup anak sekarang membuat mereka memiliki satu perbedaan kebiasaan dengan anak muda jaman dulu. Sebuah survei menunjukkan bahwa anak jaman sekarang memiliki pakaian lebih banyak dan lebih sering berganti dibandingkan kita saat muda dulu. Tren ini mungkin tidak kamu sadari, tetapi kamu boleh melakukan percobaan pada anak-anak seusia SMA dan anak kuliahan: seberapa sering mereka membeli baju baru dalam satu bulannya? Hasil survei sederhana ini mungkin akan mengejutkanmu karena bisa jadi berbeda 180 derajat dengan kebiasaanmu jaman muda dulu.

 

Kebiasaan anak muda sekarang lebih sering berganti pakaian tidak lain juga karena dorongan atau impulsi yang muncul dari budaya menggunakan sosial media. Parahnya, anak muda saat ini banyak yang tidak bisa mengontrol diri dalam menggunakan sosial media. Efek yang terjadi, segala tren yang sedang berkembang dan hangat diperbincangkan di berbagai platform ini kemudian mendorong anak muda untuk mengikutinya. Sebetulnya, tidak hanya pakaian, berbagai produk yang berkaitan dengan aktivitas sehari-hari pun juga mengalami tren yang sama. Sebut saja perangkat elektronik smartphone dan kamera.

 

Lebih jauh, tren sering berganti pakaian berarti berakar pada perilaku pembelian seseorang yang relatif tidak terkontrol. Bahkan ketika seseorang telah cukup memiliki pakaian yang bisa membuatnya selalu berganti mode yang berbeda setiap harinya dalam waktu sebulan, itu tak menghentikan mereka untuk membeli pakaian baru lagi. Demi apa? Tentunya tren. Sesungguhnya hal ini tidak memenuhi kebutuhan pakaian mereka, tetapi digunakan untuk hal yang lebih besar lagi tujuannya, yaitu sebagai sebuah konten yang menarik sehingga akan diperhatikan banyak orang, disanjung, dianggap sebagai orang yang mampu, dan impresi lain yang ingin didapatkan.

 

 

https://www.threadtogether.org

 

Mengapa media sosial, terutama yang berbasis gambar, menjadi pendorong terbesar anak muda saat ini mengikuti tren yang cukup deras? Ini bisa dijelaskan secara psikologis. Sebut saja media sosial Instagram yang kini banyak digunakan anak muda dan juga untuk kepentingan bisnis lainnya. Dengan sebuah foto atau gambar, kita bisa menangkap makna lebih luas dan dalam dibandingkan sekadar tulisan. Ketika postingan tersebut relatif berarti, semakin banyak jumlah likes yang didapatkan. Likes ini dianggap sebagai penerimaan dari orang lain atas postingan yang kita unggah, sehingga kita merasa dihargai dan dianggap ada. Sayangnya, hal ini membuat kecanduan, terutama mereka yang dalam dunia nyata tidak benar-benar mendapatkan penerimaan diri yang layak. Pada akhirnya, mereka akan mengalihkan perhatian pada hal-hal yang menurut mereka mampu menerima diri mereka sekaligus sebagai pemuas diri, yaitu konten di media sosial Instagram.

 

Fenomena anak muda saat ini yang punya budaya sering ganti pakaian, dalam arti ganti model pakaian mengikuti yang sedang tren, sebenarnya hanyalah sebuah symptom atau gejala awal yang nampak dari permasalahan psikologis yang lebih dalam. Mengikuti tren ini bukan sekadar gejala seseorang yang ingin perhatian, bisa juga menandakan dalam diri orang tersebut tidak ada prinsip kuat yang membentengi dirinya dari nilai-nilai eksternal yang tidak baik. Tidak adanya prinsip kuat dalam diri seseorang ini mungkin merupakan buah dari hasil pendidikan dan pendampingan keluarga, terutama orang tuanya, yang minim. Alhasil, seseorang berusaha mencari-cari sendiri apa yang mereka yakini berdasarkan orang-orang di luar inner circle-nya.

 

Jika hal ini menjadi sebuah kebiasaan yang berlanjut tanpa ada intervensi, bisa jadi kebiasaan seperti ini akan meluas pada hal-hal yang lebih berat, misalkan seseorang menjadi tidak punya pendirian, tidak bisa bersikap tegas atas dirinya, tidak bisa disiplin, dan karakter lainnya yang tidak menggambarkan kekuatan dan kestabilan psikologis seseorang. Dalam skala lebih besar lagi, kemungkinan munculnya masalah yang lebih parah juga menjadi lebih besar. Misalkan terbiasa untuk mengikuti tren dan tidak bisa menahan diri untuk tidak membeli segala sesuatu yang baru, alhasil seseorang lebih memilih mengajukan pinjaman alias hutang supaya bisa memenuhi keinginannya tersebut. Pinjaman yang terus menerus dilakukan dengan kesadaran pembayaran minim pada akhirnya akan membuat seseorang tersebut terlilit hutang dengan jumlah yang tidak sedikit.

 

Untuk membuat seseorang sungguh-sungguh menyadari bahwa dirinya sedang berada pada kondisi impulsif seperti ini memang tidak mudah, apalagi menyadarkan mereka tentang potensi risiko di depan mata. Perlu ada kesadaran untuk mendapatkan pendampingan dari pihak profesional seperti psikolog dan psikiater. Sebagai pencegahan, orang tua juga bisa mulai mengajarkan anak mereka dari hal-hal kecil seperti berpikir untuk hidup hemat, mengajarkan perbedaan kebutuhan dan keinginan, bahkan pada langkah komunikasi terbuka untuk membuat penerimaan diri dari anak. Kunci keberhasilan seseorang terhindari dari perilaku impulsif ini sesungguhnya terletak dari penerimaan diri tanpa syarat tersebut. Jika seseorang telah memiliki rasa penerimaan diri yang kuat, mereka akan memiliki prinsip hidup yang baik dan tidak mudah termakan oleh tren yang sedang berkembang.